Friday, September 29, 2017

SMA Part I

Damn, it's been 3 years aku nggak pernah nyentuh blog.
Semuanya udah beda, like literally everything. Sebelum ini, aku sempat menganggap kalau masa SMA itu tidak se-seru masa SMP, tetapi pernyataan itu ternyata salah.
Sebenarnya, banyak sekali kejadian yang terlewatkan dan sayang tidak kutulis di blog ini.

Aku akan mencoba untuk mengingat dan menulis pengalaman-pengalamanku yang tidak sempat kutulis di blog ini, dan berharap masih ingat beberapa detail-nya.

Dimulai dari..

Waktu kelas 1 SMA semester 1, aku pernah melewati masa-masa stress. Dimana saat itu aku masih beradaptasi, merasa belum nyaman dengan suasana baru dan orang-orang baru. Saat itu aku masih duduk di kelas X-7, dan kebetulan satu kelas dengan temanku dari SMP yang bernama Vanessa. Beda dengan sekolah-sekolah lain di Denpasar, sistem penjurusan di sekolahku ditentukan saat kelas X semester 2, jadi selama semester 1 kami menerima semua mata pelajaran IPA, IPS & BHS.
Di kelas X-7 ini jujur, aku merasa sedikit tertekan.
Hari pertama di sekolah pun merupakan kenangan yang cukup buruk, karena sehari sebelumnya aku putus. Lucunya, penyebab putus tersebut hanya dikarenakan kami berdua tidak berada di satu sekolah yang sama, padahal jarak sekolahku dan sekolahnya tidak terlalu jauh.
Satu hari kemudian, dia sudah memasang nama orang lain di status BBM-nya.
Bodoh, pikirku.
Penyebab tertekan lainnya adalah aku merasa kesepian.
Sejak SD sampai SMP aku berada di sekolah yang sama dan sebagian besar teman-teman SMP-ku berasal dari SD yang sama, jadi aku tidak terlalu kesulitan dalam mencari teman. Berbeda dengan SMA, hanya 4-5 orang temanku yang berasal dari SMP yang sama. Memang, aku sempat sedikit membaur dengan teman-teman kelasku yang baru, tetapi aku tidak mendapatkan kecocokan yang pas untuk pertemanan jangka panjang.
Sumpah kangen temen-temen SMP.

Sampai akhirnya aku masuk ke kelas X IPA 5.

Pada saat test IQ untuk penjurusan, sehabis test kami diharuskan untuk memilih prioritas jurusan kelas yang diinginkan. Aku memilih jurusan IPS pada pilihan pertama, dan jurusan IPA di urutan kedua. Sebenarnya orang tuaku, terutama Bapak, mengharapkan aku memilih jurusan BHS karena beliau merasa potensiku cukup kuat dalam bahasa. Tetapi, karena waktu itu teman-teman kelas X-7 banyak yang memilih jurusan IPS, dan kebetulan aku juga suka pelajaran sejarah dan sosiologi, aku memilih IPS sebagai jurusan prioritas utamaku.

Di pagi hari saat pembagian jurusan, Vanessa dan teman-temanku yang lainnya sudah bersorak gembira karena mereka masuk di jurusan IPS, dimana itu sesuai dengan keinginan mereka. Aku mulai berkeliling mencari namaku di deretan kelas IPS. Lho, kok gak ada?

Aku mulai mencari di deretan kelas IPA. Dari IPA 1 sampai 4, tidak ada namaku.
Sampai di IPA 5, aku melihat dan menemukan namaku di urutan pertama.
Tidak, bukan karena aku ranking 1 dengan nilai yang terbaik dalam kelas itu. Tetapi urutan nama diurut berdasarkan abjad awal, tidak heran mengapa aku berada di urutan pertama.
Aku menghampiri teman-temanku, memberi tahu kalau aku masuk di jurusan IPA, dan.. mulai menangis.

Teman-temanku mulai kaget melihat aku yang menangis karena masuk jurusan IPA, dimana pada umumnya murid-murid berharap bisa masuk ke jurusan tersebut. Bahkan, ada juga yang sudah seharusnya masuk jurusan IPS, tetapi memaksa untuk pindah ke jurusan IPA.
Disini aku malah menangis, karena begini..
Anak IPA dalam bayanganku waktu itu : berkacamata, rajin belajar, hidup terpatok dengan nilai sekolah, baju rapih dengan rok sekolah yang panjang (perempuan), kuper (means kurang pergaulandan lelucon mereka sulit dimengerti, alias garing.
Dimana aku dulu sangat anti dengan orang-orang yang seperti itu.

Tenggelam sudah masa-masa indahku di SMA, mana mungkin nanti ada teman kelas yang bisa aku ajak bolos. Nanti aku ga punya temen gimana? Nanti aku jadi yang paling bodoh di kelas gimana? Astaga Fisika.. ngebayanginnya aja uda pengen muntah.
Bukannya semakin tenang, tangisanku malah semakin menjadi-jadi.

Aku mengambil handphoneku dan mulai mencari contact dengan nama Nyonya Besar. Lalu aku memilih tombol hijau dan meletakkan handphone tersebut ke samping telingaku.
Tak lama kemudian..

"Halooo.. Kenapa nda?"

Sambil terisak-isak, kujawab "Bu..... Dinda masuk jurusan IPA..".

Ibuku mulai tertawa sambil kebingungan. "Lhooo hahaha memang kenapa? Ya bagus taa, kan nanti jadi gampang nyari kuliah, kok kamu pake nangis segala".

"Tapi dinda ga suka IPA bu, huhuhu.. Nanti dinda ga naik kelas gimana?".

Mendengar kegelisahanku, ibu semakin tertawa.

"Pokoknya dinda mau pindah jurusan bu, mau IPS aja".

"Oalah, ya dicoba dulu toh di IPA, dicoba seminggu sampe dua minggu, lek ga suka ya nanti pindah o ke IPS, bilang ke TU nanti ibu yang ngurusin".

Aku terdiam sebentar, dan setuju dengan kata-kata ibuku.

Tetapi, siapa yang tau dengan masuknya aku di kelas X IPA 5, aku bisa merasakan indahnya masa-masa SMA.